Musik Dangdut dan Kampanye Politik
Jakarta - Sebentar lagi Republik Indonesia akan merayakan pesta Demokrasi di tahun 2024. Pemilu akan kembali digelar untuk menentukan menentukan sosok yang akan menentukan Indonesia selama 5 tahun ke depan.
Kampanye-kampanye politik pun sudah mulai gencar dilakukan oleh setiap partai. Dengan berbagai cara dan medium, setiap partai politik berusaha untuk menyampaikan calon-calonnya.
Salah satu cara yang paling melekat dengan politik adalah lewat musik dangdut. Tak jarang banyak musik dangdut sendiri dijadikan alat kampanye untuk partai politik.
Eksistensi musik dangdut di Tanah Air rupanya berkesinambungan dengan dunia politik. Hal tersebut dimulai dari Presiden Soekarno dengan kampanye yang digagasnya. Seperti apa? Simak selengkapnya dalam artikel berikut ini!
Dangdut dan Politik
- Kolase Istimewa
Mengulas kembali pada tahun 1959, dimana presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno sedang gencar mengampanyekan jargonnya yang bernama Trisakti. Trisakti sendiri berisi berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Kampanye jargon tersebut memiliki semangat nasionalisme yang cukup tinggi di tahun itu. Terlebih saat itu, negara Indonesia baru saja merdeka. Sehingga perlu menanamkan rasa bangga atas negara yang baru saja lepas dari penjajahan.
Pengaruh dari jargon tersebut rupanya berpengaruh di industri musik di Tanah Air, di mana musik-musik dari luar dilarang masuk ke Indonesia. Bukan tanpa sebab, musik dari luar negeri yang dianggap tidak selaras dengan kebudayaan yang ada di Indonesia alias mendatangkan ideologi hedonisme yang bisa merusak akar-akar budaya mereka.
Tentunya hal itu berpengaruh kepada masyarakat yang harus beradaptasi untuk menikmati musik. Juga berpengaruh kepada para pelaku musik yang memiliki genre seperti band-band luar.
Namun Bung Karno sendiri tidak menutup aliran musik yang masih memiliki nafas yang sama dengan kebudayaan Indonesia. Yang mana musik tersebut datang dari India. Sehingga musik India pada zaman itu sangat berpengaruh dalam perkembangan musik di Tanah Air.
Hingga pada tahun 1962, lagu berjudul 'Boneka Cantik dari India' cukup meledak. Bahkan di antara kita mungkin masih ada yang familiar dengan lagu tersebut jika terdengar.
Meskipun begitu, musik dangdut sendiri mungkin sudah mengudara sebelumnya, namun dengan meledaknya lagu tersebut sebagai penanda bahwa dangdut sudah mulai sering tampil dari panggung ke panggung.
Sampai akhirnya muncullah sosok melegenda dangdut yang terkenal sampai saat ini, yang tak lain tak bukan adalah Rhoma Irama. Dengan kepopulerannya, musik dangdut semakin dikenal dan karena liriknya relate dengan masyarakat kelas bawah.
Seiring dengan perkembangannya, di tahun 1970 terbentuklah orkes dangdut terbesar yang bernama Orkes Soneta. Di mana, orkes tersebut sangat lekat dengan Haji Rhoma Irama.
Rhoma Irama pun banyak menghasilkan karya dengan ide dan misinya dalam bermusik yang membuat dirinya semakin populer. Haji Rhoma Irama sendiri memiliki misi dalam bermusik dengan membawa pemikiran yang dipengaruhi dengan nilai-nilai Agama Islam.
Nilai-nilai tersebut rupanya memiliki keselarasan dengan partai PPP yang berhadapan dengan pemerintahan orde baru, partai yang menjadi wadah dari umat Islam.
Tidak hanya lewat karya, Rhoma Irama juga menanamkan nilai-nilai agama terhadap setiap personel Soneta. Berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan yang tidak menjadi bagian dari penguasa orde baru membuat Rhoma Irama sempat dicekal.
Rhoma Irama dan Soneta dicekal untuk tampil di televisi yang saat itu merupakan satu-satunya televisi di Indonesia yakni TVRI. Kemudian di tahun 1975-an, pemerintahan odrde baru melihat potensi gerakan Rhoma Irama menjadi besar.
Sehingga pemerintahan orde baru saat itu melakukan antisipasi agar kekuasaan orde baru tetap kokoh. Meskipun tidak lagi bisa tampil di TV, animo masyarakat terhadap karya-karyanya.
Sempat dianggap sebagai pihak oposisi, langkah Raja Dangdut itu berubah saat sudah diperbolehkan untuk tampil di televisi milik pemerintah pada tahun 1988. Hal tersebut pun mengundang banyak pertanyaan dari publik.
Di sisi lain, Rhoma Irama juga mengundurkan dri dari PPP. Ayah dari Ridho Rhoma itu lebih memfokuskan diri untuk terhadap kelompok musisi.
Pada tahun 1993, Rhoma Iram didapuk jadi utusan golongan seniman di kursi MPR RI. Jabatan itu diemban Rhoma Irama selama 5 tahun lamanya. Rhoma Irama kemudian jadi pergunjingan publik usai namanya masuk dalam Calon Legislatif sementara.
Penggemar dan pengikutnya pun marah pada saat itu. Banyak yang mempertanyakan keputusan Rhoma Irama.
Meski memiliki jawaban, pembelaan Rhoma Irama masih belum mereda kekecewaan para pengikutnya. Terlebih kondisi ekonomi saat itu sudah mulai melemah.
Hingga pada akhirnya, orde baru harus runtuh pada tahun 1998. Di tahun 1998-2000, Rhoma Irama perlahan menjalani kembali aktivitas politik lewat pemikiran-pemikirannya. Di mana pada tahun 2003, Rhoma Irama mencekal Inul Daratista karena goyang dangdutnya yang dianggap seronok.
Lagu-lagu Inul Daratista sendiri meledak di pasaran berkat goyangan ngebornya. Namun gegara goyangan Ngebor-nya, dangdut Inul Daratista dianggap merusak citra dangdut versi Rhoma Irama.
Perseteruan antara Rhoma Irama dan Inul Daratisa menuai pro dan kotnra. Soal polemik tersebut, munculah Kyai Haji Abdurrahman Wahid alis Gus Dur yang ikut angkat suara membela Inul Daratista.
Di mana Gus Dur sangat menentang pelarangan orang-orang untuk berkarya. Presiden ke-4 itu juga berhadapan secara langsung dengan Rhoma Irama terkait problematika tersebut.
Di tahun itu, politik elektoral sangat membutuhkan orang-orang dengan popularitas tinggi untuk mengumpulkan masa. Elektoral politik Rhoma Irama kembali aktif bersama dengan Kyai Haji Zainudin MZ, dimana pelantun lagu 'Judi' itu kembali bergabung dengan PPP di bawah pimpinan Suryadarma Ali.
Dari situlah tercetus duet nada dan dakwah antara Zainuddin MZ dan Rhoma itu tercetus. Di tahun 2009, Rhoma Irama berhasil mendorong PPP untuk masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemudian di tahun 2014, Partai Kesatuan Bangsa (PKB) digadang-gadang mendeklarasikan Rhoma Irama sebagai calon presiden. Rhoma Irama pun menjadi topik pembicaraan publik di Tanah Air.
Namun saat pilpres, PKB justru mendukung Joko Widodo yang dicalonkan dari Partai Demokrasi Indonesia alias PDI. Namun aktivitas politik Rhoma Irama tidak berhenti sampai di situ saja, ia pun membuat partai sendiri yang bernama Partai Islam Damai Aman alias Partai Idaman.
Meskipun telah memperjuangkan partai tersebut itu sampai Mahkamah Konstitusi, dinyatakan tidak bisa mengikuti pemilu. Rhoma Irama pun menggunakan kedekatannya dengan Zulkifli Hasan, ia melakukan merger dengan Partai Amanat Nasional.
Hal tersebut menjadi sebuah butki, bahwa sosok dari musik dangdut juga bisa menghasilkan seorang ikon yang dibutuhkan dalam politik elektoral. Genre musik yang dekat dengan masyarakat kelas bawah itu memiliki potensi besar dalam dinamika politik.
Sehingga industri-industri yang berkaitan dengan masyarakat kelas bawah memiliki nilai jual dalam dunia politik. Terlebih masyarakat kelas bawah memiliki jumlah elektoral yang paling besar dalam aktifitas politik.
Secara kualitas dari para calon pemimpin, untuk kelas masyarakat bawah tidak mempertimbangkan nilai-nilai. Sehingga lewat musik dangdut, kampanye-kampanye yang dilakukan bisa mengarahkan pilihan politik seseorang.