Seiring waktu, muncul berbagai varian dangdut, salah satunya adalah dangdut koplo, yang menjadi representasi dari dangdut daerah di Indonesia.
“Dangdut daerah menunjukkan tingkat kreativitas artistik yang tinggi dengan mengintegrasikan bahasa daerah, elemen musik, dan praktik pertunjukan yang khas. Jenis dangdut ini dipasarkan kepada komunitas etnolinguistik tertentu di Indonesia,” jelas Prof Andrew, yang juga dikenal sebagai teman dekat dari Raja Dangdut, Rhoma Irama.
Dangdut koplo sendiri, menurut Andrew Weintraub, mencapai puncak popularitasnya selama masa krisis ekonomi dan gejolak politik di Indonesia pada tahun 1997, yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Transformasi dalam bidang ekonomi dan politik tersebut juga tercermin dalam budaya populer, termasuk dalam perkembangan dangdut koplo.
“Nama koplo berasal dari pil koplo, sejenis obat yang memicu halusinasi dan dijual murah di Indonesia. Penggemar dangdut koplo menyatakan bahwa musik ini memberikan sensasi ‘melayang’ yang mirip dengan efek narkoba,” tambahnya.
Yang membedakan dangdut koplo dari dangdut konvensional, lanjut Prof Andrew, adalah pola gendangnya yang khas. Pola ritme koplo ini dimainkan dengan satu set gendang yang terdiri dari dua drum: gendang kecil di sebelah kanan dimainkan oleh tangan kanan, sementara gendang besar di sebelah kiri dimainkan oleh tangan kiri.
“Pola koplo ini adalah bentuk modifikasi dari pola gendang dangdut standar yang dikenal sebagai chalte,” pungkasnya.