Jakarta – Dangdut, yang dulunya kerap dianggap sebagai musik pinggiran, kini menarik perhatian para peneliti dan profesor dari Barat.
Salah satu akademisi yang terpesona oleh genre musik ini adalah Prof Andrew Weintraub, PhD dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat. Seperti apa kelanjutannya? Berikut ini JagoDangdut sajikan untuk Anda!
Terjun Langsung Meneliti Dangdut Koplo
- Berbagai Sumber
Baru-baru ini, Prof Andrew Weintraub melakukan perjalanan ke beberapa kota di Jawa Timur, termasuk Surabaya dan Banyuwangi, untuk menggali lebih dalam tentang dangdut, khususnya dangdut koplo.
“Saya selalu tertarik dengan dangdut karena genre ini sangat populer di Indonesia,” ungkap Andrew Weintraub saat ditemui awak media di Hotel Kokoon, Jalan Slompretan, Surabaya.
Menurut kajian Prof Andrew, dangdut awalnya diasosiasikan dengan musik film Melayu dan India pada tahun 1970-an, dan mulai populer di Indonesia pada dekade 1980-an hingga 1990-an.
Seiring waktu, muncul berbagai varian dangdut, salah satunya adalah dangdut koplo, yang menjadi representasi dari dangdut daerah di Indonesia.
“Dangdut daerah menunjukkan tingkat kreativitas artistik yang tinggi dengan mengintegrasikan bahasa daerah, elemen musik, dan praktik pertunjukan yang khas. Jenis dangdut ini dipasarkan kepada komunitas etnolinguistik tertentu di Indonesia,” jelas Prof Andrew, yang juga dikenal sebagai teman dekat dari Raja Dangdut, Rhoma Irama.
Dangdut koplo sendiri, menurut Andrew Weintraub, mencapai puncak popularitasnya selama masa krisis ekonomi dan gejolak politik di Indonesia pada tahun 1997, yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Transformasi dalam bidang ekonomi dan politik tersebut juga tercermin dalam budaya populer, termasuk dalam perkembangan dangdut koplo.
“Nama koplo berasal dari pil koplo, sejenis obat yang memicu halusinasi dan dijual murah di Indonesia. Penggemar dangdut koplo menyatakan bahwa musik ini memberikan sensasi ‘melayang’ yang mirip dengan efek narkoba,” tambahnya.
Yang membedakan dangdut koplo dari dangdut konvensional, lanjut Prof Andrew, adalah pola gendangnya yang khas. Pola ritme koplo ini dimainkan dengan satu set gendang yang terdiri dari dua drum: gendang kecil di sebelah kanan dimainkan oleh tangan kanan, sementara gendang besar di sebelah kiri dimainkan oleh tangan kiri.
“Pola koplo ini adalah bentuk modifikasi dari pola gendang dangdut standar yang dikenal sebagai chalte,” pungkasnya.