Bagaimana musisi dangdut koplo, yang terbiasa membawa goyangan sebagai bagian tak terpisahkan dari praktik musik mereka, akan menghadapi Pasal 4 dan Pasal 5 dalam RUU Permusikan yang memberikan penjelasan normatif tentang apa yang dianggap baik dan buruk?
RUU Permusikan mengatur berbagai aspek industri musik, termasuk penyelenggara acara musik, distribusi, label rekaman, distributor, dan konsumsi musik.
Namun, banyak pasal dalam RUU ini terlihat kurang mampu mengakomodasi praktik dan pemaknaan musik yang telah berlangsung di lapangan, khususnya dalam konteks dangdut koplo.
Pertanyaan tentang relevansi dan pemaknaan hak cipta dalam era digital, di mana proses reproduksi karya semakin berubah, menjadi isu sentral. Apakah regulasi ini akan menghasilkan logika industri yang lebih kuat, ataukah dapat memberi ruang bagi nilai-nilai budaya, pengetahuan, dan semangat kemanusiaan dalam keberlangsungan musik?
Meskipun menghadapi berbagai kontroversi dan tantangan, dangdut koplo terus berkembang dan beradaptasi dengan konteks sosial-politik-ekonomi yang terus berubah.
Label rekaman khusus dangdut mulai muncul, sengketa antara artis dan penulis lagu semakin mereda, dan mekanisme kerja yang lebih baik sedang dipertimbangkan.
Apakah kemajuan ini bisa disalahkan pada regulasi ataukah lebih kepada proses evolusi kebudayaan? Bagaimana keseimbangan yang tepat dapat dijaga antara melindungi kekayaan budaya dan memberikan ruang bagi perkembangan musik yang kreatif dan beragam?